Tobi of Akatsuki Sprite

Selasa, 06 Desember 2011

kampng halaman

indah permai suaka semesta
tertutup bingkai dalam kacamata
terlelap tidur sang kasturi bunga
pujaan rindu terkenang jua
terbesit cinta nan jauh di mata

Jumat, 02 Desember 2011

AYAH

AYAH, dalam rindu memanggil
Santunan harap tanganmu
Membasuh setiap tangisanku
Menemani dalam jalan hidupku


Dany Agung Pratam (DAP7)

JALANku














Terasa kasar dan lembut setiap langkah kakiku
Menggores luka kecil disetiap bebatuan
Jalan terurai mengadah dihadapanku
Menarik segala ingin dan harapan
Mudah dan sulit terasa dekat
saling berkejaran terpadu
urai segala kegundahan
yang hilang seketika.
itu jalan ku

Dandy Agung Pratama (DAP7)

Sebuah Tatapan

Indah cahaya matamu
Bertajuk intan terartai
Mengalir selembut anganmu

Tatapan yang kau hadiahkan
Untukku,
Terkenang dalam mimpi liarku
Yang terselubung membungkus
Di balik sebuah rahasia

Rahasia salju mutiara permai
Di bilik keangkuhanmu

Dandy Agung Prtama (DAP7)

ADINDA

Terbuai lanunanmu
Mengarah kesudut tembok bambu
Mengangkasa luar diriku

Inginku bersanding di waktu itu
Terpegang rantai indah rasa ini
Seraya sisa gumpalan bualan

Terang merangkai syahdu,
Dengan benang bersurat illahi
Kulingkar di dadamu


 Dandy Agung Pratama(DA7)



SEBUAH DOA'




Tertanam jiwa raga karyamu
Melindungiku dari nafsu pembunuh
Angkara murka

Tertemani sinar senja
Debu mengguyurku dengan keringatnya
Ku bersujud untukmu

Kau, wahai zad terkuasa sealam raya
Seruan kami hanya untukmu
Sujud sipu kusembahkan
dan telah kuserukan segala hormat

ALLAHUAKHBAR




 Dandy Agung Pratama (DAP7)

Kicauan B U R U N G















Cit. Cuit. Cit. Cuit
Merdu kau kumandangkan
Bak nyanyian surga
Yang mengatur segala alam

Terungkap sudah
Indahmu, dalam persembunyian
Yang bermuara di bawah alam sadar
Yang tertangkap cerahnya pagi

Putarkan sekali lagi nyanyian kedamaian itu,
Wahai burung berkicau di singgah sana teratas

                                          Dandy Agung Pratama (DAP7)
                                          Kijang, 01 Maret 2011

Jumat, 18 November 2011

KEBUDAYAAN JEPANG

SADOU

Sadou, atau yang lebih dikenal dengan nama "Upacara Minum Teh" ala jepang adalah tradisi yang konon kabarnya bermulai sebelum Jaman Edo, atau kira-kira 400 tahun yang lalu. Awal-awalnya, tradisi ini dilakukan oleh kalangan bangsawan atau para samurai di jepang terhadap tamu-tamunya, dan terus berlangsung sampai sekarang dan telah menyentuh masyarakat umum di jepang. Tradisi ini memiliki kurang lebih 300 tata cara dan berbeda menurut musim dan tempat, atau kepada siapa para sadou sensei berguru pada pendahulunya, kabarnya dimulai di Kyoto, kota yang penuh dengan budaya tradisional jepang.

upacara minum teh ini adalah salah satu cara meditasi yang mulai dipopulerkan oleh pendeta Buddha dari kelompok Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen. Kalau Anda mengetahui lebih lanjut pasti akan lebih menakjubkan lagi karena seni minum teh ini harus dipelajari secara khusus dan ada sekitar 36 aliran dari upacara unik ini dan beberapa aliran tertentu juga mempunyai cabang atau aliran baru. Tidak cukup hanya dipelajari atau dipraktekkan saja namun juga harus terus diperdalam dan disempuranakan yang kadang memakan waktu bertahun tahun bahkan mungkin juga seumur hidup.

Karena acara minum teh ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, maka pengetahuan tuan rumah untuk mengaatur ruangan untuk upacara (chashitsu) yang meliputi pemilihan lukisan dinding (kakejiku) bunga (chabana) sangatlah penting. Peralatan lainya seperti mangkuk keramik, sendok, teh dan sebagainya adalah dibuat khusus untuk upacara ini saja jadi bukan peralatan sehari hari. Berikut saya kitipkan beberapa penjelasan dari wikipedia : "Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut."



Istilah Sadou sensei, yaitu sebutan bagi seorang expert / penyaji dalam hal tata cara Sadou jepang.


Sadou Sensei memperagakan sekaligus menjamu dalam upacara minum teh. Cawan untuk minum teh hijau atau ocha dan wadah untuk menyimpan bubuk ocha (wadah kecil berwarna hitam dikanan) diklasifikasikan sebagai sebuah Sakuhin, atau karya seni jepang. Harganya bisa mahal sekali (kira-kira beberapa ratus ribu atau juta kalau dirupiahkan).

Latar belakang tangga merah adalah display boneka yang hanya dibuat pada kesempatan hinomatsuri, atau hari bagi anak perempuan di jepang. Tangga yang bertingkat-tingkat mendeskripsikan kelas dalam masyarakat jaman dulu, dimulai yang teratas dari prince and princess, pendeta, knight, pemusik, dan miniatur mebel dari mulai lemari pakaian, meja hias. Miniatur-miniatur ini dibuat sangat detail,biasanya diberikan oleh nenek, atau ibu untuk cucu atau anak perempuannya. Walaupun benda-benda ini dijual umum, namun yang tampak di diplay ini adalah buatan sang ibunda.

Oya, kabarnya setelah matsuri ini selesai, tangga itu harus buru-buru diberesin lagi karena konon katanya, kalo enggak, anak perempuan yang ada dirumah tersebut susah nikah.

Salah satu jenis okashi, atau penganan manis yang disajikan sebelum meminum ocha. Rasanya yang manis menjadi penawar bagi rasa ocha yang agak pahit (pingin nambah kuenya : ), tapi ternyata gak boleh dalam acara minum teh ini. Kalo nambah tehnya boleh)



Ada beberapa rule yang dipandang sebagai tata krama tamu dalam acara minum teh. Diantaranya :

1) Membungkuk hormat pada penyaji saat ocha disajikan,

2) Memandang ornament yang ada di cawan dengan penuh perhatian, menghargainya sebagai karya seni sebelum meminum teh dalam cawan tersebut,

3) Membuat percakapan ringan kepada tuan rumah tentang barang-barang seni tersebut, seperti siapa yang membuat, kapan dibuatnya (jangan tanya harganya ya..: ). Dan tentunya....harus duduk *pegel* manis : ).



Demikianlah cerita singkat tentang upacara minum teh yang penuh dengan keanggunan, tata krama, keindahan, sekaligus kesederhanaan dalam tradisi jepang. Jangan khawatir tentang pahitnya rasa ocha, dan pegelnya duduk, karena acara ini (kalau formal) adalah salah satu bentuk penghargaan orang jepang terhadap tamunya. Sayang untuk dilewatkan!

Sabtu, 15 Oktober 2011

LIRIK LAGU

WESTLIFE - WHAT ABOUT NOW
Shadows fill an empty heart
As love is fading,
From all the things that we are
But are not saying
Can we see beyond the stars?
And make it to the dawn?

Change the colors of the sky
And open up to
The ways you made me feel alive,
The ways I loved you
For all the things that never died,
To make it through the night,
Love will find you

What about now,
What about today,
What if you’re making me all that I was meant to be,
What if our love never went away,
What if it’s lost behind words we could never find,
Baby, before it’s too late,
What about now.

The sun is breaking in your eyes
To start a new day
This broken heart can still survive
With a touch of your grace
Shadows fade into the light
I am by your side,
Where love will find you

What about now,
What about today,
What if you’re making me all that I was meant to be,
What if our love had never went away,
What if it’s lost behind words we could never find
Baby, before it’s too late,
What about now.

Now that we’re here,
Now that we’ve come this far,
Just hold on
There is nothing to fear,
For I am right beside you.
For all my life,
I am yours.

What about now?
What about today?
What if you’re making me all that I was meant to be?
What if our love had never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?

What about now?
What about today?
What if you’re making me all that I was meant to be?
What if our love had never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?
Baby, before it’s too late,
Baby, before it’s too late,
Baby, before it’s too late,
What about now?

Senin, 15 Agustus 2011

Lagu RELIGI

dimulai tahun melenium..penyanyi indonesia baik GRUP-SOLO-DUO atau featuring,,berlomba-lomba untuk membuat single religi,mereka semua ada yang mencoba-coba peruntungan ada juga yang memang telah terjun ke dunia religi setiap tahunnya...dibawah ini beberapa lagu yang ingin saya share kepada teman-teman...check it dot:


Nunung cs - alhamdulillah
Gigi - akhirnya
Zivilia - pintu toubat
Gita gutawa - jalan lurus
ahmad dhani feat Seven dream - Adzan

sampai jumpa dilain waktu lagi bos..tetap akan ku share yang menarik-menarik

Kamis, 19 Mei 2011

ESAI

Pengertian Esai
Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal. Esai informal mempergunakan bahasa percakapan, dengan bentuk sapaan “saya” dan seolah-olah ia berbicara langsung dengan pembacanya. Adapun esai yang formal pendekatannya serius. Pengarang mempergunakan semua persyaratan penulisan.
Tipe-tipe Esai
Ada enam tipe esai, yaitu :
• Esai deskriptif. Esai jenis ini dapat meluliskan subjek atau objek apa saja yang dapat menarik perhatian pengarang. Ia bisa mendeskripsikan sebuah rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya.
• Esai tajuk. Esai jenis ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Esai ini mempunyai satu fungsi khusus, yaitu menggambarkan pandangan dan sikap surat kabar/majalah tersebut terhadap satu topik dan isyu dalam masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis.
• Esai cukilan watak. Esai ini memperbolehkan seorang penulis membeberkan beberapa segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe pribadi yang dibeberkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya memilih bagian-bagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi tersebut.
• Esai pribadi, hampir sama dengan esai cukilan watak. Akan tetapi esai pribadi ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri. Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Ia membuka tabir tentang dirinya sendiri.
• Esai reflektif. Esai reflektif ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan kepada para cendekiawan.
• Esai kritik. Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni, misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya seni. Kritik yang menyangkut karya sastra disebut kritik sastra.
Ciri-ciri Esai
1. Berbentuk prosa, artinya dalam bentuk komunikasi biasa, menghindarkan penggunaan bahasa dan ungkapan figuratif.
2. Singkat, maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu dua jam.
3. Memiliki gaya pembeda. Seorang penulis esai yang baik akan membawa ciri dan gaya yang khas, yang membedakan tulisannya dengan gaya penulis lain.
4. Selalu tidak utuh, artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis. Penulis memilih aspek tertentu saja untuk disampaikan kepada para pembaca.
5. Memenuhi keutuhan penulisan. Walaupun esai adalah tulisan yang tidak utuh, namun harus memiliki kesatuan, dan memenuhi syarat-syarat penulisan, mulai dari pendahuluan, pengembangan sampai ke pengakhiran. Di dalamnya terdapat koherensi dan kesimpulan yang logis. Penulis harus mengemukakan argumennya dan tidak membiarkan pembaca tergantung di awang-awang.
6. Mempunyai nada pribadi atau bersifat personal, yang membedakan esai dengan jenis karya sastra yang lain adalah ciri personal. Ciri personal dalam penulisan esai adalah pengungkapan penulis sendiri tentang kediriannya, pandangannya, sikapnya, pikirannya, dan dugaannya kepada pembaca.
Kegiatan Mandiri 1
Bacalah dalam hati contoh esai di bawah ini !
Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama
Oleh Ahmad Fuad Fanani
Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran bahwa diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala.
Jika kita kaji, kemunculan ekstrimisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah kepada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman.
Pada dasarnya semua agama mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi.
Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama, dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. Namun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan.
Hal lain yang menyebabkan agama dan kaum agamawan gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. Akibat dari tidak membaca sejarah maka, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. Dalam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad-abad, hingga kini belum banyak para agamawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosialpun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat.
Dan di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini masih memprihatinkan, yang diurus hanya kekuasaan, dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencaharian para politisi. Rahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. Meski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita berputus asa dan larut dalam kesedihan. Maka kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-seriusnya, dan semaksimalnya.
Pada keadaan seperti itu, semestinya para agamawan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin , membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. Agama harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya mengapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah? Maka, jangan sampai para agamawan justru menjadi pelegitimasi rezim dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil.
Para agamawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan, serta kuat menahan diri terhadap segala godaan yang kerap datang merayu dan menggoyahkan iman. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan agamawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran luhur agama. Agamawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil.
Farish Noor dalam artikelnya menyatakan, kemenangan sebuah agama dan agamawan bukanlah terletak pada bagaimana menampilkan agama yang murni dan yang lainnya dianggap salah, namun justru pada komitmennya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, prularisme, dan hak-hak kaum minoritas dan kesetaraan jender.
Oleh karenanya, persoalan agama dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. Agama dan kaum agamawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. Kolusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh pemuka agama.
Jangan sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa paling peduli dan teguh menegakkan keadilan sosial serta menentang kezaliman, padahal mereka sendiri berbuat zalim dengan tidak menghargai pemeluk agama lain dan gemar menghakimi keyakinan orang lain. Agama harus betul-betul peduli pada orang yang menderita dan tegas pemihakannya terhadap nasib orang-orang yang papa dan yang termarjinalkan.
Kompas, Rabu 29 November 2006, dengan perubahan seperlunya.

Senin, 09 Mei 2011

FEATURE

“Feature”

  1. Pengertian Feature
Sulit untuk mengetahui batasan-batasan sebuah Feature.  Daniel K. Williamsan (1983) mengibaratkan feature seperti desir angina diantara pepohonan. Maksudnya, tiap orang mudah merasakannya, namun sulit merumuskan rasa itu dalam kata-kata.ubyek
Majalah Tempo menyebutkan feature adalah artikel kreatif, kadang-kadang subyektif yang bertujuan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan, atau aspek kehidupan.
Kesimpulan : Feature adalah cerita khas kreatif yang berpijak pada jurnalistik sastra tentang suatu situasi, keadaan, atau  aspek kehidupan, dengan tujuan untuk memberi informasi sekaligus menghibur khlayak media massa.
Ciri khas Feature menurut Asep syamsul M. Romli “ jurnalistik praktis”
  1. Mengandung Human interest, memberi penekanan pada fakta-fakta yang dianggap mampu mengugah emosi. Menyentuh rasa manusiawi.
  2. Mengandung unsur Sastra, di tulis dengan cara/gaya menulis fiksi
Ada beberapa jenis feature, di antaranya adalah:
  1. Feature berita yang lebih banyak mengandung unsur berita, berhubungan dengan peristiwa aktual yang menarik perhatian khalayak. Biasanya merupakan pengembangan dari sebuah straight news. Contohnya membahas tentang perang serdadu AS dan Irak
  2. Feature artikel yang lebih cenderung segi sastra. Biasanya dikembangkan dari sebuah berita yang tidak aktual lagi atau berkurang aktualitasnya. Misalnya, tulisan mengenai suatu keadaan atau kejadian, seseorang, suatu hal, suatu pemikiran, tentang ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang dikemukakan sebagai laporan (informasi) yang dikemas secara ringan dan menghibur. Misalnya, menulis tentang kondisi kaum muslimin di berbagai belahan dunia atau tren mode di tahun 2010
Asep Syamsul M. Romli, Membagi feature berdasarkan tipenya :
  1. Feature human interest (langsung sentuh keharuan, kegembiraan, kejengkelan atau kebencian, simpati, dan sebagainya). Misalnya, cerita tentang penjaga mayat di rumah sakit, kehidupan seorang petugas kebersihan di jalanan, liku-liku kehidupan seorang guru di daerah terpencil, suka-duka menjadi dai di wilayah pedalaman, atau kisah seorang penjahat yang dapat menimbulkan kejengkelan.
  2. Feature pribadi-pribadi menarik atau feature biografi. Misalnya, riwayat hidup seorang tokoh yang meninggal, tentang seorang yang berprestasi, atau seseorang yang memiliki keunikan sehingga bernilai berita tinggi. Itu sebabnya, Anda bisa menuliskan tentang profil para pemimpin Islam di masa lalu, misalnya. Atau Anda juga bisa cerita tentang kisahnya al-Khawarizmi, ilmuwan muslim yang menemukan angka nol.
  3. Feature perjalanan. Misalnya kunjungan ke tempat bersejarah di dalam ataupun di luar negeri, atau ke tempat yang jarang dikunjungi orang. Dalam feature jenis ini, biasanya unsur subjektivitas menonjol, karena biasanya penulisnya yang terlibat langsung dalam peristiwa/perjalanan itu mempergunakan “aku”, “saya”, atau “kami” (sudut pandang—point of view—orang pertama). Ambil contoh tentang perjalanan menunaikan ibadah haji. Perjalanan ke tanah suci itu bisa Anda tuangkan dalam sebuah tulisan bergaya feature yang menarik. Itu sebabnya, disarankan untuk membawa buku catatan kecil untuk menuliskan semua peristiwa yang dialami sebagai bahan penulisan. Pokoknya, sip deh.
  4. Feature sejarah. Yaitu tulisan tentang peristiwa masa lalu, misalnya peristiwa Keruntuhan Khilafah Islamiyah, sejarah tentang Istana al-Hamra dan benteng Granada. ‘Melongok’ kejayaan Islam di masa lalu. Sejarah tentang kekejaman tentara Salib saat membantai kaum muslimin, sejarah pertama kali Islam masuk ke Indonesia dan sebagainya. Banyak kok sejarah yang bisa kita tulis dengan jenis feature ini. Pokoknya asyik deh.
  5. Feature petunjuk praktis (tips), atau mengajarkan keahlian—how to do it. Misalnya tentang memasak, merangkai bunga, membangun rumah, seni mendidik anak, panduan memilih perguruan tinggi, cara mengendarai bajaj, teknik beternak bebek, seni melobi calon mertua dan sebagainya.
Fungsi Feature
  1. melengkapi sajian Straight news
  2. pemberi infpormasi tentang suastu situasi, keadaan atau peristiwa yang terjadi
  3. penghibur dari pengembangan imajinasi dan menyenangkan
  4. wahana pemberi nilai dan makna terhadap suatu keadaan/ peristiwa
  5. sarana ekspresi yang paling efektif dalam mempengaruhi khalayak
Menulis Feature
Sama seperti tulisan jurnalistik, hal yang terpenting adalah Lead. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi harus benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca. Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca.
Macam-macam Lead :
  1. Lead ringkasan, yang merujuk langsung pada inti cerita yang akan tercapai. Tetapi jangan terlalu ‘telanjang’ dalam menulis lead Ringkasan.
Contoh : Matanya terpejam, sudut bibirnya menyeringai, napasnya tampak tersendat, kini tubuhnya Andryan mulai mengejang. Sebuah King Smash yang dilakukan Andryan, bukan hanya menambah point bagi dirinya, tetapi juga mengantarnya ke unit gawat darurat  RS PMI Bogor. Ya, Adryan kena serangan jantung. Tapi, bukan Adryan saja, terlalu banyak lelaki aktif yang kemudian terkapar gara-gara jantungnya berhenti berdenyut…
  1. Lead pertanyaan, seolah-olah memberi pertanyaan pada pembaca yang mengusik rasa ingin tahu pembaca.
Contoh : Masih bingung menulis Feature? Ah, jawabnya sederhana saja. Berlatih, berlatih, dan brlatih. Karena dengan berlatih kepekaan Anda akan rasa bahasa semakin terarah…
  1. Lead BerceritaLead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya.
Contoh : Anak berseragam putih-abu itu menenteng balok kayu. Sorot matanya tajam bagai elang mengincar mangsanya. Sejurus kemudian ia memberi komando untuk menyerang lawannya dari sekolah lain. Tawuran pun tak bisa dihindari lagi. Warga sekitar kejadian, yang kebanyakan ibu-ibu ketakutan menyaksikan drama itu…
  1. Lead Deskriptif. Lead ini menceritakan gambaran kepada pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian.
Contoh : Sesekali wanita tua itu mengelap keringatnya yang mengucur dengan ujung kebayanya, ia terus mengulek bumbu pecel. Sementara anak-anak sekolah sibuk berebutan membeli gorengan di kantin sekolah itu. Meski banyak anak yang suka curang dengan tidak membayar dagangannya, Bu Maryam tak pernah ambil pusing, “Mungkin dia tidak punya uang”, katanya suatu saat….. dst….
e.  Lead Nyentrik/ unik. Bersifat ekstrim bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya.  Contoh :
Hancurkan Amerika!
Tangkap Bush!
Teriakan itu bersahut-sahutan dari ribuan pendemo di depan Kedubes AS dalam unjuk rasa menentang invasi AS dan sekutunya ke Irak ….
  1. Lead Menuding. Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara” (bisa juga Anda). Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan. Contoh:
Anda jangan bangga dulu punya HP oke. Meski kemana-mana nenteng ponsel yang fiturnya seabrek, boleh jadi Anda buta tentang teknologi
  1. Lead gabungan
Contoh : ” Kemerdekaan bukanlah hasil bertapa di bawah pohon kamboja, ” teriak Soekarno di depan ratusan massa. Ucapannya disambut suara gemuruh, membuat langit di atas lapangan Ikada bergetar….
Langkah kedua setelah Lead adalah adalah Body. Tiga prinsip dalam memperhatikan Body adalah :
  1. kesatuan karangan arus di jaga
  2. pertalian antara fakta yang diungkap perlu diperhatikan
  3. tekanan pada masing-masing alinea makin ke bawah makin berkurang
trik dalam membuat tulisan feature adalah :
  • Tulislah lead yang “bicara”, yang “bercakap”. Tulislah berita seperti layaknya Anda mengisahkannya secara lisan,
  • Gunakan kata-kata sederhana, bukan yang berkabut.
  • Hindarkan kata-kata teknis, atau istilah asing yang kurang perlu,
  • Usahakan kata-kata konkret, “Jangan katakan, tapi tunjukkan”,
  • Sebanyak mungkin pakai kata kerja yang aktif, yang menggembarkan tindakan, gerak. Sebisa mungkin hindari kata-kata sifat.
  • Berkisahlah untuk pembaca,
  • Berkisahlah seperti melukis.
( Diambil dari berbagai sumber) ” Bahan Sharing “11″ buat Mahasiswa 2009

Kamis, 28 April 2011

CARA MEMBUAT LEAD DALAM BERITA



Jika Anda sudah selesai meliput dan merasa senang dengan fakta serta data yang diperoleh, maka tinggal tugas berikutnya menuliskannya dengan jelas. Prinsip utama dalam membuat berita adalah clarity dan concise. Jelas, lugas dan lengkap. Secara teoritis memang mudah dikatakan namun dalam praktek membutuhkan pengalaman dan sedikit keahlian.
Lead berita adalah jendela untuk melihat isi berita. Dengan membaca paragraf pertama yang sering disebut lead ini makan pembaca diajak untuk memahami isi berita ini. Dengan penjelasan singkat di paragraf pertama atau lead berita itu penulisnya berusaha mengajak pembaca memasuki tubuh berita.
Lead bagaikan hidangan pembuka yang akan mengajak pembaca menikmati kunyahan makanan dalam tubuh berita. Jika lead itu terasa lezat, penuh informasi dan jelas maka pembaca ingin melihat lebih lengkap dalam tubuh berita. Inilah tantangan utama jurnalis membuat lead yang menyajikan berita secara komprehensif.
Prinsip lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesempatan pembaca yang serba ringkas. Pembaca surat kabar atau majalah, tentu mengharapkan dalam satu paragraf bisa dipahami inti dari ceritanya. Pembaca tidak hanya membaca satu atau dua berita di sebuah media cetak, tetapi mungkin lebih dari sepuluh berita. Dengan cara membaca cepat maka terdapat informasi yang segera bisa diraup. Disinilah juga lead harus memainkan peran penting untuk “meringankan” beban pembaca sehingga lead merupakan sebuah sajian yang mengalir.
Sesudah memahami prinsip dasar dalam menyajikan lead yang segar dan mengalir, maka penulis berita harus mulai menyusun fakta-fakta yang sudah didapat dilapangan. Prinsip 5W + 1 H tetap dipegang tetapi tidak secara kaku. Tidak selalu urutan what, when, who, where, why dan how harus dipegang secara pasti.
Jurnalis yang sudah sering meliput berita akan mengetahui kapan what dan kapan who menjadi kalimat pertama dalam lead.
Dalam insiden jatuhnya pesawat Adam Air di Sulawesi Barat, maka kalimat pertama yang perlu disimpan adalah mengenai who dan when. Berapa korban yang jatuh dalam musibah itu menjadi sangat penting karena menyangkut jiwa manusia sampai sekitar 200 orang. Ini bukan jumlah yang sedikit.
Ketika pesawat Adam Air retak badan pesawatnya di bandara Juanda, Surabaya, maka unsur who menjadi lebih turun karena yang menjadi perhatian adalah what – yakni pesawat retak dan ekornya patah – namun tidak jatuh korban jiwa.
Karena berita akan berjalan terus maka urutan why dan how mungkin akan turun di belakang hari. Setelah black box pesawat Garuda yang jatuh di Yogyakarta diperiksa di Amerika Serikat, maka kalimat pertama mungkin akan cocok menempatkan why sebagai pembukanya.
Demikian juga dengan berita “hardnews” lainnya maka teknik membuat lead yang tepat merupakan salah satu rumus mengapa media satu lebih unggul dari media lainnya. Jika penulis berita sendiri tidak mengerti lead yang ditulisnya, jangan harap pembaca akan lebih mengerti. Jadi lead harus dimengeri wartawan lebih dahulu sehingga pembaca merasa tidak menjadi beban melahap berita-berita baru setiap hari.

PENGERTIAN BERITA


Berita berasal dari bahsa sansekerta "Vrit" yang dalam bahasa Inggris disebut "Write" yang arti sebenarnya adalah "Ada" atau "Terjadi".Ada juga yang menyebut dengan "Vritta" artinya "kejadian" atau "Yang Telah Terjadi".Menurut kamus besar,berita berarti laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.

Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on-line internet.

News (berita) mengandung kata new yang berarti baru. Secara singkat sebuah berita adalah sesuatu yang baru yang diketengahkan bagi khalayak pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, news adalah apa yang surat kabar atau majalah cetak atau apa yang para penyiar beberkan.

Menurut Dean M. Lyle Spencer : Berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca.

Menurut Willard C. Bleyer : Berita adalah sesuatu yang termasa ( baru ) yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar. Karena itu ia dapat menarik atau mempunyai makana bagi pembaca surat kabar, atau karena ika dapat menarik pembaca - pembaca tersebut.

Menurut William S Maulsby : Berita adalah suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.

Menurut Eric C. Hepwood : Berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting yang dapat menarik perhatian umum

Menurut Dja’far H Assegaf : Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa ( baru ), yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca. Entah karena luar biasa, entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi – segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.

Menurut J.B. Wahyudi : Berita adalah laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memilki nilai penting, menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan melalui media massa periodik.

Menurut Amak Syarifuddin : Berita adalah suatu laporan kejadian yang ditimbulkan sebagai bahan yang menarik perhatian publik media massa.

Dari sekian definisi atau batasan tentang berita itu, pada prinsipnya ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dari definisi tersebut. Yakni: Laporan kejadian atau peristiwa atau pendapat yang menarik dan penting disajikan secepat mungkin kepada khalayak luas.

Dalam berita juga terdapat jenis-jenis berita yaitu:

1. Straight News: berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita jenis ini,
jenis berita Straight News dipilih lagi menjadi dua macam :

a.Hard News: yakni berita yang memiliki nilai lebih dari segi aktualitas dan kepentingan atau amat penting segera diketahui pembaca.
Berisi informasi peristiwa khusus (special event) yang terjadi secara tiba-tiba.

b.Soft News, nilai beritanya di bawah Hard News dan lebih merupakan berita pendukung.

2. Depth News: berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan.

3. Investigation News: berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan dari berbagai sumber.

4. Interpretative News: berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penelitian penulisnya/reporter.

5. Opinion News: berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendekiawan, sarjana, ahli, atau pejabat,
mengenai suatu hal, peristiwa, kondisi poleksosbudhankam, dan sebagainya.

Bagian Berita

Secara umum, berita mempunyai bagian-bagian dalam susunannya yaitu

Headline.
Biasa disebut judul. Sering juga dilengkapi dengan anak judul. Ia berguna untuk: (1) menolong pembaca agar segera mengetahui peristiwa yang akan diberitakan; (2) menonjolkan satu berita dengan dukungan teknik grafika.

Deadline.
Ada yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Ada pula yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Tujuannya adalah untuk menunjukkan tempat kejadian dan inisial media.

Lead.
Lazim disebut teras berita. Biasanya ditulis pada paragraph pertama sebuah berita. Ia merupakan unsur yang paling penting dari sebuah berita, yang menentukan apakah isi berita akan dibaca atau tidak. Ia merupakan sari pati sebuah berita, yang melukiskan seluruh berita secara singkat.

Body.
Atau tubuh berita. Isinya menceritakan peristiwa yang dilaporkan dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas. Dengan demikian body merupakan perkembangan berita.

Unsur-Unsur Berita

Dalam Berita Harus terdapat unsur-unsur 5W 1H yaitu :

(1) What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?

(2) Who - siapa yang terlibat di dalamnya?

(3) Where - di mana terjadinya peristiwa itu?

(4) When - kapan terjadinya?

(5) Why - mengapa peristiwa itu terjadi?

(6) How - bagaimana terjadinya?

(7) What next - terus bagaimana?

Selasa, 26 April 2011

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich

Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebutPolitik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsaIndonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasaIndonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagiSejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia

mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsaIndonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsaIndonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakatIndonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasaIndonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasaIndonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
Bahasa Indonesia:
a. Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.
b. Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda.
a. Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaanIndonesia.
b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesiabaik berupa:
1) bahasa pers,
2) bahasa dalam hasil sastra.
Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaanIndonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsaIndonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasaIndonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.
Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Perbedaan dari Segi Ujudnya
Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untukmembersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untukmengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putraIndonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua francaitu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.
Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah airIndonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negaraIndonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negaraIndonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

Oleh Masnur Muslich
Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebutPolitik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsaIndonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasaIndonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagiSejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia

mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsaIndonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsaIndonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakatIndonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasaIndonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasaIndonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
Bahasa Indonesia:
a. Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.
b. Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda.
a. Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaanIndonesia.
b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesiabaik berupa:
1) bahasa pers,
2) bahasa dalam hasil sastra.
Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaanIndonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsaIndonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasaIndonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.
Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Perbedaan dari Segi Ujudnya
Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untukmembersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untukmengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putraIndonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua francaitu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.
Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah airIndonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negaraIndonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negaraIndonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

free counters